Revitalisasi Dialog Jakarta-Papua
Oleh : Fransisco Antonio Yassie (Sekretaris GMNI Cabang Sumedang)

Mewujudkan Papua sebagai tanah yang damai memang perlu adanya dialog yang inklusif, partisipatif dan komprehensif. Hal ini bertujuan untuk membangun kembali rasa saling percaya antar pemangku kebijakan, dalam hal ini pemerintah pusat dan masyarakat Papua.
Pendekatan dialog dalam konteks Papua dapat dikategorikan sebagai salah satu wujud “nation and character building” yang jelas-jelas menghindari metode yang represif atau menggunakan cara-cara kekerasan dengan dalil memperkuat persatuan dan Kesatuan Republik Indonesia. Apalagi cara represif yang dilakukan demi melanggengkan kekuasaan modal asing di Indonesia salah satunya melalui tanah Papua.
Pendekatan dialog dengan metode partisipatif dimaksudkan untuk mempertemukan pihak-pihak yang berkepentingan, termasuk di dalamnya yang kontra serta yang merasa dimarginalisasi serta didiskriminasi. Dengan demikian akan ada kesempatan untuk mendengarkan langsung hal apa yang sesungguhnya menjadi pokok persoalan sehingga terjadi gejolak di Papua.
Sejak 1 Mei 1963, hubungan antara rakyat Papua dengan pemerintah terus mengalami dinamika. Dalam buku Papua Road Map (2008), dikatakan terdapat empat akar persoalan mendasar yang menjadi penghambat hubungan Jakarta dan Papua.
Pertama, masih ada perbedaan pemahaman terhadap sejarah integrasi dan status politik Papua di Indonesia. Kedua, masih terjadinya kekerasan politik dan pelanggaran HAM di Papua. Ketiga, pembangunan di Papua yang sepenuhnya belum berhasil. Serta keempat masih terjadi marginalisasi dan diskriminasi terhadap orang Papua.
Belum terselesaikannya empat masalah inilah yang mengakibatkan tingkat kepercayaan masyarakat Papua terhadap pemerintah terus memburuk. Harus diakui bahwa kepercayaan masyarakat Papua terhadap pemerintah menurun karena rezim sebelumnya dianggap masih belum serius dalam membangun Papua.
Sebut saja, rezim orde baru yang dipimpin Suharto serta rezim reformasi dalam beberapa dekade selalu saja menitikberatkan pembangunan pada kebijakan yang terkesan politis ketimbang sungguh-sungguh membangun Papua. Komitmen membangun Papua terus merosot. Problemnya tidak lepas dari adanya intervensi dari berbagai kalangan baik elit lokal, pusat bahkan asing.
Realitanya di Papua hari ini, bila memperhatikan investasi yang masuk masih melulu berbicara tentang kepentingan asing, pemerintah pusat lalu pemerintah daerahnya. Beberapa oknum ikut memainkan perannya untuk mengisi kepentingannya sendiri tanpa peduli dengan ekses yang terjadi di masyarakat. Keuntungan finansial selalu diutamakan ketimbang merepresentasikan kepentingan masyarakat Papua di akar rumput.
Problematik Ekonomi
Sebagaimana yang kita ketahui untuk menyelesaikan persoalan ekonomi di Papua, pemerintah menetapkan Undang-Undang No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus yang diperluas menjadi Undang-Undang No.35 Tahun 2008. Sejalan dengan Otsus Papua, Pemerintah mendorong pemekaran kabupaten dan kota.
Tujuannya adalah membuka lebar-lebar akses pelayanan publik. Namun bila diperhatikan lagi tujuan tersebut tidak sepenuhnya tercapai karena ada keterbatasan infrastruktur dan kapasitas birokrat yang tidak mumpuni serta sarana-prasarana pembangunan yang belum memadai.
Kegagalan pemerintah pada hakikatnya disebabkan kebijakan yang masih melulu menggunakan kaca mata Jakarta sehingga lupa dengan permasalahan mendasar yang sebenarnya terjadi di masyarakat Papua. Pemaksaan kebijakan tanpa melihat realitas masalah sosial ekonomi menjadi sulit diimplementasikan pada tataran operasional program. Masalah utama juga karena kapasitas sumber daya manusia yang belum siap. Namun sayang justru hal inilah yang tidak sesegera mungkin diselesaikan pemerintah.
Fondasi paling mendasar di masyarakat Papua tidak dibangun, misalnya pemberdayaan dalam bentuk pelatihan maupun peningkatan SDM melalui pendidikan. Alhasil, slogan menjadi tuan di negeri sendiri itu pun sulit terealisasi. Belakangan yang muncul hanya kecemburuan sosial karena banyak masyarakat Papua yang merasa terpinggirkan dan tidak bisa mengisi posisi-posisi strategis dalam sistem politik maupun ekonomi.
Ditambah lagi, banyak studi kasus yang menggambarkan keakutan persoalan SDM yang jelas bukan tradisi asli Papua namun kita sedang menggelayuti masyarakat seperti halnya seks bebas, premanisme, lem aibon di kalangan remaja, kesenjangan sosial, miras dan kekerasan rumah tangga serta masalah moralitas lainnya.
Permasalahan ekonomi sangat rentan melahirkan gejolak politik dan pertarungan kepentingan yang bisa berdampak pada masyarakat Papua secara luas. Saya jadi ingat pesan Bung Karno ketika mengatakan bahwa membangun bangsa pada tahap utamanya adalah nation and character building.
Membangun masyarakat Papua juga tidak harus menyentuh hal-hal fisik semata namun juga harus memperhatikan sisi karakternya, memberdayakan manusianya, mereformasi sistem pemerintah daerahnya serta mengadakan dialog berkelanjutan. Andai saja ini yang di bangun, saya yakin Papua akan bangkit dan semakin mandiri dalam hal pembangunan.
Menyentuh Status Politik Papua
Konflik vertikal mencakup stigma separatis, pelarangan penggunaan simbol-simbol daerah, kekerasan yang dilakukan oleh TNI/POLRI dan kelompok sipil bersenjata serta pertentangan nasionalisme Indonesia versus etno-nasionalisme Papua adalah realita yang masih terus terjadi. Bahkan kini isu Papua menjadi isu yang hangat di masyarakat Internasional terutama PBB. Generasi muda Papua mulai bangkit untuk berbicara tentang keadilan hingga menyuarakan kemerdekaan.
Ini bukan tanpa alasan karena bila diperhatikan dengan seksama grafik pelanggaran HAM memang terus mengalami peningkatan. Hal ini terjadi karena pendekatan persuasif itu masih belum final diterjemahkan dalam membangun kepercayaan masyarakat Papua.
Bukan hanya itu, pembungkaman pers di Papua juga masih marak terjadi. Kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum sering kali ditutup. Contohnya adalah maklumat POLDA Papua, Irjen. Pol. Waterpau tentang tindakan separatisme. Konteks ini sebenarnya, demontrasi itu cermin demokrasi di Indonesia, bagian dari ekspresi masyarakat terhadap pemerintah.
Justru melalui demontrasi mereka bisa menyampaikan aspirasinya. Papua sudah terlalu lama dieksploitasi kekayaannya tapi manusianya tidak sungguh-sungguh dibangun. Sehingga wajar mereka teriak merdeka. Jika tidak setuju, alangkah bijaknya mengajak mereka berdialog dan komunikasi secara konstruktif agar kepentingan masyarakat Papua tersalurkan begitupun dengan hasrat pemerintah.
Pemerintah saat ini sudah melakukan langkah membangun infrastuktur yang luar biasa tapi harus juga dibarengi dengan menyentuh status politik Papua. Ini masalah yang implikasinya bisa kemana-mana.
Stigma OPM separatis dan stigma sosial yang menganggap Papua bodoh tertinggal itu semua harus dihentikan. Revitalisasi dialog Jakarta-Papua harus terus dilakukan, baik itu melalui seminar, kajian-kajian akademis maupun silahturahmi yang intens dan yang paling esensial adalah menerjemahkan pendekatan kemanusiaan itu secara nyata dengan mengusut tuntas pelanggaran HAM di Papua secara transparan. Dengan begini maka luka yang terjadi di masyarakat Papua akan terobati.**