MASA DEPAN NATUNA UTARA: PERTAHANAN UTAMA INDONESIA

Situs Berita Online Latarnews
Rusdianto Samawa, Ketua Umum Front Nelayan Indonesia (FNI)

SIANTAR.SUMUT. Latarnews.com- sen(6/01) “Tulisan ini ada 4 Serial, saya tulis 2018 bulan November dan diperbaharui. Semua bentuk kerjasama yang dijelaskan dalam tulisan ini membuat China bisa menangkap ikan di ZEEI Natuna Utara.

Apalagi dasar mereka Nine Dash Line. Lagi pula Amerika Serikat juga memiliki perjanjian kerja yang sama dalam menangkap ikan di ZEEI dengan Negara Indonesia. Mestinya pemerintah fokus memodernisasi nelayan, pembangunan infrastruktur ekonomi pesisir dan integrasi pertahanan negara Indonesia.”


Bagi Indonesia yang sebelumnya tidak mengalami tumpang tindih atas wilayah yang diklaim RRT, juga diuntungkan putusan atas gugatan Filipina tersebut, karena RRT juga mengklaim perairan Natuna Utara sesuai dengan dasar yang sama lewat historic rights dan nine dash line. Sehingga Permanent Court of Arbitration (PCA), secara tidak langsung tidak mengakui klaim RRT atas Natuna Utara yang masuk dalam kawasan Laut China Selatan berdasarkan klaim sepihak tersebut.

Dilansir dari Harian Kompas, 13 Juli 2016, Permanent Court of Arbitration (PCA) menyatakan, klaim historis Tiongkok di Laut Natuna Utara yang ditandai dengan nine dash line tidak memiliki landasan hukum. Mahkamah menyatakan, hak-hak historis RRT di LTS sebelumnya yang diklaim RRT telah terhapus jika hal itu tidak sesuai dengan ZEE yang ditetapkan berdasarkan perjanjian PBB.

Putusan itu dibuat menanggapi pengajuan keberatan Pemerintah Filipina tahun 2013. Filipina keberatan atas klaim dan aktivitas RRT di Laut Natuna Utara. Filipina menuding RRT mencampuri wilayahnya dengan sejumlah aktivitas, khususnya menangkap ikan dan mereklamasi gugusan karang untuk membangun pulau buatan. Mahkamah menyatakan RRT telah melanggar hak-hak kedaulatan Filipina dan menegaskan bahwa RRT telah menyebabkan kerusakan lingkungan dengan membangun pulau-pulau buatan.

Dasar klaim wilayah RRT atas seluruh perairan Laut Natuna Utara tidak memiliki hak dan wewenangnya. Karena putusan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2016 silam sudah final dan tak bisa diganggu oleh negara manapun. Kalau RRT masih melakukan itu berarti masuk kategori menjajah Indonesia dengan cara mencaplok wilayah kedaulatan Indonesia.

Pokok perkara yang diajukan oleh Filipina, terutama invaliditas klaim historic rights dan nine dash line serta klasifikasi fitur maritim, sebenarnya memiliki implikasi langsung bagi kawasan negara-negara di Natuna Utara. Beberapa negara yang terlibat di dalamnya, antara lain Vietnam, Malaysia, dan Brunei. Semua negara itu bersinggungan dengan batas yang diklaim RRT, terutama terkait dengan historic rights dan nine dash line.

Tentu, keputusan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2016 silam itu bermula setelah negara tetangga Indonesia, Filipina, mengajukan gugatan ke Mahkamah Arbitrase Internasional atau Permanent Court of Arbitration (PCA) yang merupakan kelembagaan hukum di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu sendiri.

Keputusan PBB didasarkan pada UNCLOS, yang telah ditandatangani baik oleh Pemerintah China maupun Filipina. Keputusan itu bersifat mengikat, tetapi Mahkamah Arbitrase tidak memiliki kekuatan untuk menerapkannya. Dalam pengaduannya, Filipina berargumen, klaim RRT di wilayah perairan LTS yang ditandai dengan sembilan garis putus-putus itu bertentangan dengan kedaulatan wilayah Filipina dan hukum laut internasional.

Dengan keputusan Permanent Court of Arbitration (PCA) atas sengketa di Laut Natuna Utara yang diajukan oleh Filipina, meski RRT secara tegas menolak putusan Permanent Court of Arbitration (PCA) itu. Bahkan, sejak awal RRT menolak gugatan Filipina itu, dengan dalih gugatan itu adalah cara konfrontatif untuk menyelesaikan sengketa. Absennya RRT dalam persidangan, seperti ditegaskan oleh Permanent Court of Arbitration (PCA), tidak mengurangi yurisdiksi Permanent Court of Arbitration (PCA) atas kasus tersebut.

Secara umum putusan Mahkamah mengabulkan hampir semua gugatan Filipina, dan menihilkan klaim maupun tindakan RRT di Laut Natuna Utara. RRT juga menyatakan tidak terikat terhadap putusan Permanent Court of Arbitration (PCA) itu. Meski gugatan ke Permanent Court of Arbitration (PCA) diajukan oleh Filipina, putusan tersebut punya implikasi pada negara-negara ASEAN yang selama ini bersengketa dengan RRT di Laut Natuna Utara, tak terkecuali Indonesia.

Maka, ketika pencurian itu terjadi di Natuna Utara yang jelas-jelas wilayah NKRI, mestinya penegakan hukum dilakukan atas pencurian yang mereka lakukan. Lagi pula, pemerintah harus perketat pengawasan, karena pada bulan Desember dan Januari setiap tahun, kapal asing yang memasuki perairan Natuna Utara sering terjadi saat nelayan lokal tidak melaut karena ombak tinggi. Bahkan kapal-kapal penangkap ikan dikawal kapal penjaga dari negara asing, ini sering dilakukan oleh Vietnam, China, Malaysia dan Australia.

Upaya keras, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) melayangkan nota protes setelah kapal China memasuki Perairan Natuna Utara pada pertengahan Desember 2019 dan melakukan aktivitas yang diduga melanggar aturan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).

Sebenarnya, Kapal Nelayan China memiliki hak menangkap ikan di Perairan Natuna berdasarkan banyak kerjasama Indonesia dengan RRT tentang maritim lebih khusus kelautan dan perikanan. Isi dari perjanjian tersebut yakni:

1). Pada 23 April 2004, Pemerintah Indonesia telah melakukan kerja sama (MoU) dengan Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok yang ditandatangi oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dan Menteri Pertanian tentang kerja sama perikanan

2). Pada 25 April 2005, Deklarasi bersama antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok mengenai kemitraan strategis

3). Pada 21 Januari 2010, Rencana aksi implementasi Deklarasi Bersama antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok mengenai kemitraan strategis

4). Pada 23 Maret 2012, MoU kerjasama Maritim antara pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok

5). Pada 2 Oktober 2013, MoU Kerjasama Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dengan Kementerian Pertanian Republik Rakyat Tiongkok, yang isinya menyepakati bidang-bidang kerjasama sebagai berikut: pertama: Peningkatan investasi perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan produk dan pemasaran.

Kedua: Melakukan pencegahan, penghalangan dan penghapusan perikanan illegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur; Ketiga: Mendukung tindakan-tindakan Negara pelabuhan untuk mencegah, menghalangi dan menghapuskan perikanan illegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur; Keempat: Berbagi data dan informasi, antara lain eksport dan import produk-produk perikanan, pendaratan ikan jika ada, usaha patungan dan investasi di darat, registrasi dan sertifikasi kapal penangkap ikan di bawah pengaturan yang merujuk kepada pasal III MoU ini;

Kelima: Pengembangan kerjasama teknis di bidang perikanan tangkap berkelanjutan, perikanan budidaya, teknologi pasca panen dan produk perikanan bernilai tambah;
Perlindungan keanekaragaman hayati perikanan; Keenam: Pendidikan, pelatihan dan penyuluhan di bidang perikanan dan kemudian disepakati juga dibentuk Komisi Bersama untuk menindaklanjuti MoU.

6). Pada 3 Maret 2014, Delegasi Pemerintah Indonesia Delegasi Indonesia yang dipimpin Direktur Jenderal (Dirjen) Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, Gellwyn Jusuf menggelar pertemuan pertama Joint Committee on Fisheries Cooperation dengan delegasi China yang dipimpin oleh Deputi Direktur Jenderal Biro Perikanan Kementerian Pertanian RRT Cui Lifeng, di Beijing.

Dalam pertemuan yang merupakan tindak lanjut dari penandatanganan Memorandum of Understanding Kerja Sama Perikanan RI-China yang ditandatangani oleh Menteri Kelautan dan Perikanan RI dan Menteri Luar Negeri RRT pada 2 Oktober 2013, di Jakarta itu, dibahas dua agenda pokok yaitu rancangan pengaturan kerja sama penangkapan ikan dan pengelolaan daerah perikanan terpadu di Natuna.

Pembahasan isu tersebut dipandang penting guna menyamakan persepsi mengenai penataan kerja sama investasi di bidang perikanan, khususnya yang terkait dengan hal-hal yang perlu dimasukkan dalam pengaturan pelaksanaan (implementing arrangement) yang akan dibahas dalam pertemuan Maritime Cooperation Committee pada minggu ketiga Maret 2014 di Jakarta. Pada dasarnya Indonesia mengijinkan beroperasinya kapal-kapal penangkap ikan berbendera China sepanjang memenuhi ketentuan yang berlaku dalam kerangka penanaman modal asing.

Sebenarnya konflik soal Natuna antara Indonesia dengan China tidak baru-baru ini saja terjadi. Pada 2016, kapal penangkap ikan asal China ditembak dan ditangkap TNI AL karena memasuki wilayah kedaulatan NKRI. Saat itu RRT membuat nota protes atas sikap penembakan dan penangkapan RI atas nelayan China yang mengklaim sudah mencari ikan sejak lama di daerah tersebut. Namun Indonesia bersikukuh bahwa tindakan yang diambil sudah sesuai dengan prosedur yang benar karena China telah memasuki Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) RI. Tidak dapat dipungkiri, perairan Natuna terletak di lokasi yang strategis menghubungkan 10 negara yaitu, China, Taiwan, Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei dan Filipina.

Namun demikian, Indonesia melihat masih terjadi penyalahgunaan perijinan penangkapan ikan di perairan Indonesia. Salah satunya adalah yang terkait dengan status kapal berbendera Indonesia namun ditenggarai milik perusahaan China. Inilah yang sering terjadi di Natuna Utara.

Indonesia meminta agar dilakukan pendataan secara terbuka terhadap perusahaan-perusahaan perikanan China yang kredibel dan menjamin pengelolaan penangkapan ikan secara berkelanjutan, termasuk penggunaan awak kapal. Sebagai contoh, jika kapal yang digunakan sudah berbendera Indonesia maka kapal tersebut hendaknya diawaki oleh anak buah kapal Indonesia, meski kapal tersebut berasal dari China.

Untuk itu diusulkan agar jika terdapat kapal China yang sudah berganti bendera Indonesia maka hendaknya dikeluarkan sertifikasi penghapusan. Jika dilakukan pembiaran terhadap perusahaan-perusahaan perikanan yang tidak kredibel tersebut, pada akhirnya akan menimbulkan permasalahan sendiri.

Selanjutnya guna melakukan penataan terhadap perusahaan-perusahaan perikanan China yang beroperasi di Indonesia dan kapal-kapal yang digunakan, Indonesia juga mengusulkan agar setiap kapal China yang beroperasi di Indonesia harus memperoleh ijin dari Biro Perikanan Kementerian Kelautan RRT guna mendapatkan kepastian hukum dan informasinya disampaikan ke KBRI di Beijing.

Menanggapi usulan Indonesia, China menanggapi positif karena kerjasama di sektor perikanan yang baik antara kedua negara akan menguntungkan kedua belah pihak, khususnya bagi pengusaha perikanan China yang menurut Cui Lifeng, sejauh ini berjumlah 15 perusahaan dengan sekitar 300 kapal.

Karena, pencurian ikan di wilayah laut Indonesia sebenarnya sudah berlangsung lama, mengingat sangat kayanya potensi ikan di perairan Tanah Air. Sebetulnya, pihak China juga sependapat dengan usulan Indonesia untuk melakukan verifikasi kapal-kapal perikanan negaranya yang beroperasi di Indonesia karena sejauh ini pihaknya tidak memperoleh laporan mengenai terjadinya penyalahgunaan pengoperasian kapal-kapal perikanan. Agar proses penataan berjalan efektif, China meminta Indonesia bisa memberikan laporan mengenai situasi dan perkembangan perusahaan penangkapan ikan China yang beroperasi di Indonesia, termasuk mitra kerja mereka.

Natuna Utara tidak hanya sebagai lokasi yang strategis, Natuna Utara juga memiliki kekayaan alam yang luar biasa mulai dari migas hingga hasil perikanan. Menurut kajian dari berbagai sumber EIA, WWF, UNEP, CFR, Laut China Selatan memiliki potensi cadangan minyak hingga 11 miliar barel, gas alam mencapai 190 triliun kaki kubik dan menyumbang hampir 10% kebutuhan ikan global.

Laut Natuna juga menyimpan kekayaan perikanan yang berlimpah yaitu ikan pelagis kecil (621,5 ribu ton/tahun), demersal (334,8 ribu ton/tahun), pelagis besar (66,1 ribu ton/tahun), ikan karang (21,7 ribu ton/tahun), udang (11,9 ribu ton/tahun), cumi-cumi (2,7 ribu ton/tahun), hingga lobster (500 ton/tahun).

Natuna memiliki sumber daya alam yang cukup melimpah, terutama energi. Total produksi minyak dari blok-blok yang berada di Natuna adalah 25.447 barel per hari. Sementara produksi gas bumi tercatat sebesar 489,21 MMSCFD. Natuna bisa jadi lokasi blok gas raksasa terbesar di Indonesia, dengan terdapatnya blok East Natuna yang sudah ditemukan sejak 1973.

Berdasar data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), volume gas di blok East Natuna bisa mencapai 222 TCF (triliun kaki kubik). Tapi cadangan terbuktinya hanya 46 TCF , jauh lebih besar dibanding cadangan blok Masela yang 10,7 TCF. Tapi perlu dicatat, bahwa kandungan karbondioksida di blok tersebut sangat tinggi, bisa mencapai 72%. Sehingga perlu teknologi yang canggih untuk mengurai karbon tersebut. Sementara, untuk cadangan minyak diperkirakan mencapai 36 juta barel.

Tak hanya menyimpan potensi migas yang besar, kawasan Laut Natuna juga menyimpan kekayaan perikanan yang berlimpah yaitu ikan pelagis kecil (621,5 ribu ton/tahun), demersal (334,8 ribu ton/tahun), pelagis besar (66,1 ribu ton/tahun), ikan karang (21,7 ribu ton/tahun), udang (11,9 ribu ton/tahun), cumi-cumi (2,7 ribu ton/tahun), hingga lobster (500 ton/tahun).

Semua bentuk kerjasama yang dijelaskan dalam tulisan ini membuat China bisa menangkap ikan di ZEEI Natuna Utara. Apalagi dasar mereka Nine Dash Line. Lagi pula Amerika Serikat juga memiliki perjanjian kerja yang sama dalam menangkap ikan di ZEEI dengan Negara Indonesia. Mestinya pemerintah fokus memodernisasi nelayan, pembangunan infrastruktur ekonomi pesisir dan integrasi pertahanan negara Indonesia dan pembangunan masa depan maritim Indonesia. Penulis: Rusdianto Samawa, Ketua Umum Front Nelayan Indonesia (FNI).

FpM

Tinggalkan Balasan