Olahraga

Kekurangan Cannavaro yang menjadikan dia ‘Sempurna’

Situs Berita Online Latarnews

LATARNEWS.COM- Bagi sebagian pecinta sepakbola mungkin akan lebih mengenal Paolo Maldini sebagai seorang bek paling tangguh pada masanya. Ya, saya sendiri sangat setuju dengan opini itu, dan dimasa itu Liga Italia atau yang biasa kita sebut Liga Calcio memang sedang pada masa terbaiknya, hampir semua pemain-pemain bintang bermain disana, sebut saja Shevchenko, Del Piero, Batistuta, Ronaldo, Buffon, Totti dan masih banyak lagi.


Maldini memang bisa dikatakan salah satu talenta terbaik yang pernah dilahirkan negeri Pizza, kesetiaanya pada AC Milan, kemampuan membaca serangan lawan, tackle agresif dan ditunjang dengan fisik yang tinggi besar rasanya crossing dari kedua sisi lapangan cuma ‘makanan ringan’ untuknya. Selain kemampuan itu Maldini juga dikenal sebagai simbol sebuah semangat, kerja keras, kepemimpinan dan kesetiaan khas pria Italia.


Rasanya dua paragraf diatas sudah cukup menggambarkan betapa sempurnanya seorang Paolo Maldini, tapi artikel ini ditulis bukan untuk menceritakan dirinya, melainkan rekan senegaranya yaitu pemain yang tidak ‘sesempurna’ Maldini tapi punya cerita yang menurut saya (penulis) lebih ‘seru’ dan sulit untuk disamai oleh seluruh defender yang pernah ada. Ya dialah Fabio Cannavaro.
Cannavaro lebih muda 5 tahun dari Maldini, dia memulai karir profesionalnya bersama klub dari kampung halamannya Napoli.

Cannavaro (selanjutnya disebut Canna) melanjutkan petualangannya ke kota Parma dan di tim asal kota inilah karir seorang Canna benar-benar dikenal dunia. Bersama Parma Canna memainkan total 290 match dan menjadi pemain paling penting Parma saat itu bersama Buffon, Thuram, Veron dan duet striker Crespo – Chiesa.


Semua Tifosi (sebutan penggemar Liga Italia) tidak akan pernah melupakan betapa hebat cerita yang pernah dijalani Parma pada masa itu. Mereka berhasil memenangkan dua Copa Italia dan menjuarai UEFA Cup (yang sekarang bernama UEFA Europa League) setelah menghajar Marseille di partai puncak yang saat itu diperkuat Laurent Blanc.

Setelah 7 musim bermain apik bersama Parma, Canna menerima pinangan Inter Milan selama dua musim dan pindah ke Juventus di tahun 2004 kemudian hanya bermain dua tahun disana setelah Juve terkena Calciopoli. Baik di Inter atau Juve Canna tidak mendapatkan trophy klub sama sekali, mungkin dia hanya ditakdirkan bermain untuk Parma di Italia.

Namun di akhir musim 2006 cerita berbeda ketika Piala Dunia mulai bergulir dan saat itu Italia tengah diterpa isu Calciopoli. Itali yang saat itu dilatih Marcelo Lippi menunjuk Cannavaro menjadi kapten tim (Maldini sudah pensiun dari Timnas seusai Piala Dunia 2002). Bersama Nesta, Zambrotta, Grosso dan Buffon dibawah mistar, Italia menjelma menjadi tim yang benar-benar kokoh dan sulit ditembus. Kepemimpinan dan ketenangan seorang Canna bisa memimpin seluruh tim yang dihuni nama-nama besar saat itu.

Sampai di semifinal mereka harus memainkan pertandingan sulit melawan tuan rumah Jerman. Bermain alot sepanjang 90 menit dan skor masih 0–0, pertandingan pun berlanjut ke babak extra time. Cannavaro tidak lagi berpasangan dengan Nesta sejak babak perempat final dikarenakan cedera, dan kemudian digantikan Marco Materazzi yang bermain sama baiknya.

Setelah pertandingan menuju babak akhir extra time, Grosso sang bek sayap Itali diluar dugaan membobol Lehmann lewat tendangan melengkung, Itali hampir menang. Tidak sampai situ saja, Itali berhasil menambah keunggulan menjadi 2–0 setelah Ale’ Del Piero mencetak gol kedua Itali.

Tapi yang menarik bukanlah gol kedua mereka, tapi proses terjadinya gol itu sendiri. Jika melihat dari tayangan ulang (youtube) kita bisa melihat peran yang sangat vital dari seorang bek yang tingginya ‘hanya’ 1,75 m bisa melompat untuk memenangi duel udara melawan Mertesacker dan berlari sangat cepat untuk langsung mencuri bola liar yang ingin dikontrol Podolski dan kemudian memberikan bola ke Totti untuk memulai serangan balik yang berujung Gol.

Ya proses gol ini bisa menggambarkan bagaimana seorang bek tangguh bekerja, tidak hanya sebagai pemutus serangan, dia bisa menjadi penentu sebuah hasil akhir pertandingan.

Di akhir turnamen Italia keluar sebagai juara dunia 2006 setelah menang adu penalti vs Perancis yang sempat diwarnai drama Zidane-Materazzi. Cannavaro juga menjadi pria pertama dalam tim yang berhak memegang trophy yang paling diinginkan semua pemain sepakbola itu, dan berdiri gagah untuk mengangkatnya tinggi-tinggi.


Seusai Piala Dunia 2006 Canna memutuskan ikut dengan Fabio Capello menerima pinangan Los Blancos (Real Madrid) dan sempat mengakibatkan fans Juve mengecapnya sebagai penghianat karena meninggalkan Juve disaat degradasi ke Serie B. Bersama Real Madrid Canna menjadi pilihan utama di lini belakang kendati usianya sudah sangat senior.

Canna memenangkan 2 gelar Laliga dibawah asuhan Fabio Capello yang dikenal dengan tim bertabur bintangnya.
Puncaknya di awal tahun 2007 Cannavaro diganjar sebagai pemain terbaik dunia dan berhak atas Ballon d’or 2006 serta FIFA Best Player.

Canna hanya bertahan dua musim disana dan pulang kembali ke Juventus, namun di usia yang semakin ‘tua’ dan fisik yang tak sebagus dulu lagi Cannavaro pun tak bertahan lama dan meninggalkan si nyonya tua untuk kedua kalinya dan sekaligus menghentikan karirnya di eropa setelah menerima pinangan Al Ahli. Satu tahun kemudian Cannavaro resmi pensiun dari Sepakbola.


Cannavaro memang tidak memiliki fisik sebagus dan sekokoh Maldini atau di era sekarang Virgil Van Dijk untuk bermain sebagai defender/bek yang tugas utamanya adalah menjaga dan berduel dengan striker-striker jangkung lawan. Namun dibalik ketidaksempurnaan fisiknya, Canna punya atribut lain yang tak banyak dimiliki Bek tengah lainnya yaitu kecepatan dan intersep/tackle yang sangat baik, disamping kepemimpinan dan visi bermain yang juga sama baiknya.

Atribut-atribut itu merupakan senjata andalan Cannavaro selama berkarir sebagai bek.
Jumlah Match dan Trophy yang ia dapatkan memang tak sebanyak Maldini, jumlah gol yang ia cetak juga tak sebanyak John Terry atau Sergio Ramos dan ‘Attitude’ Canna juga tak sebaik kapten-kapten tim besar seperti Totti dan Gerrard (Cannavaro sempat gagal tes doping dan pernah menjadi tahanan).

Tapi yang selalu ada di ingatan orang adalah, Cannavaro merupakan bek kelas dunia dan kapten Italia saat juara dunia yang membawanya menjadi satu-satunya Defender (pemain bertahan) yang pernah menjadi pemain terbaik dunia (Ballon d’or). Sampai saat artikel ini ditulis belum ada satupun yang bisa mengulangnya.

Pembaca bebas menyebutnya sebagai legenda klub mana, sebagian besar mungkin menyebutnya legenda Parma, tapi tak sedikit madridista dan juventini yang juga menganggapnya sebagai legenda mereka walau hanya bermain 2 musim. Ya, Cannavaro memang sehebat itu, karir dan pencapaiannya tak bisa diukur dari angka.
Tidak perlu berdebat panjang lebar soal siapa saja bek terbaik yang pernah ada di dunia, tapi yang pasti Cannavaro ada salah satu didalamnya.
Forza!

FpM/001

Tinggalkan Balasan