“Arah Investasi Negara” Wilson Sitanggang (Mahasiswa Magister Administrasi Publik UGM)

Upaya Indonesia untuk lepas dari ketergantungan pada minyak bumi masih sulit dicapai sepenuhnya. Indonesia masih bergantung pada minyak bumi hingga beberapa tahun kedepan. Hal itu dilihat melalui tren peningkatan komsumsi akan minyak bumi di indonesia yang masih sangat tinggi. Tidak hanya itu, porsi komsumsi minyak bumi juga masih mencapai 60% dari seluruh energi yang ada. Sialnya, peningkatan tren komsumsi di Indonesia ini tidak diikuti akan tren produksi yang meningkat. Tren produksi Indonesia justru mengalami penurunan pada beberapa tahun terakhir. Selain hal itu, fenomena yang sedang berkembang juga menunjukkan bahwa negara dengan kekayaan alam melimpah (Venezuela) seperti minyak bumi dan gas justru mengalami pembangunan ekonomi yang lebih rendah dibanding dengan negara lain yang memiliki kekayaan alam lebih sedikit (Korea, Taiwan, dan Singapura). Adanya paradoks sumber daya alam ini mengisyaratkan perlunya Indonesia mengambil upaya untuk mengembangkan kebijakan energi alternatif yang terbarukan. Disamping itu, citra minyak bumi yang negatif (tidak ramah lingkungan dan inefisien) juga perlu menjadi pertimbangan serius untuk keluar dari ketergantungan.
Ketergantungan akan Minyak Bumi
Kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa permintaan akan bahan bakar minyak sebagai sumber energi masih belum dapat dibendung pemerintah. Hal itu dapat dilihat dari peningkatan komsumsi minyak bumi yang setiap tahunnya menunjukkan tren yang stabil. Merujuk data BP Statistical Review of World Energy, pada tahun 2006 komsumsi minyak sebesar 1,244 juta bpd (barrels per day) meningkat menjadi 1,785 juta bpd pada tahun 2018. Ironinya peningkatan komsumsi ini tidak dikombinasikan akan produksi yang meningkat. Justru produksi minyak mengalami penurunan dalam setiap tahunnya. Seperti, pada tahun 2006 produksi berada pada kisaran 1,018 juta bpd turun ke kisaran 808 ribu bpd pada tahun 2018. Kondisi ini memperlihatkan bahwa produksi domestik tidak bisa memenuhi permintaan domestik. Tak heran jika Indonesia selalu mengimpor bahan bakar per hari dari beberapa negara untuk memenuhi permintaan. Dalam ketergantungan ini tentunya menempatkan Indonesia sebagai importir (net importer) minyak bumi. Meskipun mengalami penurunan produksi minyak bumi, peranan energi fosil seperti minyak bumi dalam berbagai kegiatan ekonomi Indonesia saat ini masih belum tergantikan. Tidak heran, ketersediaan cadangan bahan bakar fosil khususnya minyak bumi masih menjadi tolak ukur bagi ketahanan energi Indonesia. Kondisi ketergantungan diatas juga diperparah dengan kenyataan bahwa kebanyakan produksi minyak di Indonesia masih dilaksanakan oleh para kontraktor asing yang menggunakan pengaturan kontrak pembagian produksi serta minimnya perhatian khusus pada pengembangan energi alternatif yang terbarukan.
Melepaskan Ketergantungan
Meminimalisir ketergantungan akan minyak bumi tergantung pada strategi pengelolaan hasil yang didapatkan dan pembangunan energi alternatif yang terbarukan. Namun, hal tersebut harus ditopang oleh kepastian kebijakan dan arahnya yang jelas. Salah satu kebijakan alternatif yang diambil adalah menginvestasikan kembali hasil yang diperoleh dari migas menjadi modal publik seperti infrastruktur, pendidikan, layanan kesehatan, dan pengembangan energi terbarukan itu sendiri. Ada dua alasan yang menjadi pertimbangan dalam menginvestasikan kembali hasil migas, yaitu pertama, migas merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, yang telah tersimpan sebagai kekayaan bumi milik rakyat. Kekayaan ini tidak akan pergi kemana-mana sehingga lebih tepat memposisikannya sebagai aset daripada income. Kedua, aktivitas penambangan minyak bumi tidak dapat disamakan dengan produksi pada umumnya. Pengelolaan kekayaan alam merupakan kegiatan ekstraktif, yang peruntukannya untuk transformasi modal. Untuk itu pengembalian hasil pengelolaan ini pun haruslah berupa modal yang dapat dimiliki dan dinikmati oleh rakyat. Pemerintah memiliki kewajiban unutk mengelolanya sendiri sekaligus menginvestasikannya menjadi modal publik. UUU 1942 pasal 33 ayat 2 memberikan arah yang jelas terhadap bagaimana kekayaan alam harus digunakan.
Pengembalian hasil kekayaan alam dalam bentuk modal publik setidaknya akan memberikan daya tahan pada perekonomian masyarakat. Beberapa keuntungan yang dapat dinikmati langsung oleh transformasi modal diantaranya pertumbuhan ekonomi. Meskipun swasta memiliki pengaruh besar dalam pertumbuhan ekonomi negeri ini, namun penyediaan akan barang publik dapat. Investasi pada modal publik bukan hanya sebagai substitusi pembangunan namun juga menjadi komplementer dalam upaya pertumbuhan perekonomian yang bebas oleh swasta. Selain itu Investasi pada modal publik dapat menjaga stabilitas ekonomi makro. Hal ini penting sebagai persiapan negara menghadapi penyusutan pendapatan dari migas. Terkait hal ini, Indonesia dapat belajar dari Arab Saudi yang telah membangun kekuatan ekonomi di luar minyak bumi dengan memanfaatkan potensi lain dan menginvestasikan hasil pengelolaan minyak bumi ke sektor lainnya. Terakhir, investasi pada modal publik dapat menjadi bagian dalam road map pembangunan jangka panjang, perlu di ingat bahwa banyak investasi publik memerlukan waktu yang relatife lama. Sehingga dibutuhkan grand design bagaimana mengelola transformasi modal dengan efektif dan efesien. Transformasi tersebut juga harus mencakup tata ruang yang hemat energi atau pembangunan berbasis energi alternatif.
Secara umum, investasi publik dimaksudkan untuk mengembalikan aset yang telah ditransformasi ke publik. Hanya saja, bentuk pengembaliannya haruslah bijaksana dan bertanggungjawab. Salah satu cara mencegah Indonesia untuk melepaskan diri dari ketergantungan ialah dengan investasi yang tepat pada layanan dasar. Inilah bentuk investasi publik yang bertanggungjawab, bilamana transformasi modal tidak diserahkan dalam bentuk “saham rakyat” melainkan peningkatan taraf hidup masyarakat. Pengoptimalan hasil transformasi minyak bumi oleh pemerintah memang tidak lepas dari berbagai resiko kutukan sumber daya seperti “Dutch Disease”. Namun kekhawatiran tersebut tidak akan terjadi bila pemerintah mau dan mampu berinvestasi secara bijaksana dan bertanggungjawab dengan mengembalikannya kepada publik sebagai aset rakyat.