Penolakan Gereja: Terbaru di Depok

Penolakan gereja terbaru di Depok oleh warga

LatarNews , Jakarta – Penduduk RT 2 dan RT 5 RW 03 Kelurahan Kalibaru menolak adanya pembangunan – Warga RT 2 dan RT 5 RW 03 Kelurahan Kalibaru tidak setuju dengan rencana pembangunan – Masyarakat RT 2 dan RT 5 RW 03 Kelurahan Kalibaru menolak rencana pembangunan yang diusulkan – Penduduk RT 2 dan RT 5 RW 03 Kelurahan Kalibaru mengeluarkan dorongan terhadap pembangunan – Warga RT 2 dan RT 5 RW 03 Kelurahan Kalibaru menyatakan persetujuan terhadap proyek pembangunan gereja di Jalan Palautan Eres, Kecamatan Cilodong Depok pada Hari Sabtu, 5 Juli 2025.

Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan Kalibaru, Rudi Ardiansyah, menyatakan bahwa persetujuan tersebut terjadi karena sejak awal tidak pernah dilakukan sosialisasi kepada warga sekitar. “Secara tidak langsung, sekarang izin mereka telah dikeluarkan, tanpa adanya persetujuan dari masyarakat. Padahal masyarakat masih berdirinya gereja tersebut,” kata Rudi, Sabtu, 5 Juli 2025.

Pendirian Rumah Ibadah

Institut Setara mencatat data mengenai masalah pernikahan dan pembangunan rumah ibadah di Indonesia. Data yang dikumpulkan Setara Institute selama periode 2007—2022, tercatat sebanyak 573 kasus gangguan terhadap peribadatan dan tempat ibadah di Indonesia. Data yang dirilis oleh Setara Institute ini menjelaskan berbagai bentuk pelanggaran yang dialami kelompok minoritas, seperti pembubaran paksa kegiatan ibadah, penolakan pembangunan rumah ibadah, ancaman, serta kerusakan dan pembakaran tempat ibadah.

Kebebasan beribadah dan beragama diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 ayat (2) yang menyatakan, “negara menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing serta berabadat sesuai dengan agama dan kepercayaannya.”

Penolakan Pembangunan Gereja

1. Pembangunan Gereja di Cilodong

Rudi Ardiansyah mengklaim penolakan tersebut karena pihak yang berwenang dalam lingkungan seperti RT dan RW tidak pernah dilibatkan dalam proses mediasi. “Justru mereka mengambil jalur atas, sehingga hingga izin turun tanpa pernah ditandatangani oleh RT dan RW,” ujar Rudi.

Ia menolak tuduhan intoleransi dengan menyebutkan bahwa telah terdapat dua gereja lain di kawasan tersebut. Perwakilan Gereja GBKP Zetsplayrs Tarigan mengatakan bahwa peletakan batu pertama dilakukan secara sah karena memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang dikeluarkan pada 4 Maret 2025.

Ia menyangkal tuduhan bahwa tidak ada sosialisasi dan menyatakan bahwa penyediaan sering kali melibatkan pengurus lingkungan setempat. “Jika dikatakan tidak dilibatkan, kami sudah sering bertemu dengan Pak RW, Pak RT, RT.2 dan RT.5, semuanya memiliki dokumen,” ujar Zetsplayrs.

2. Pembangunan Gereja di Cilegon

Proses persetujuan pembangunan Gereja HKBP Maranatha di Cilegon, Banten, dimulai dari aksi pembekuan yang dilakukan oleh kelompok yang mengaku sebagai Komite Penyelamat Kearifan Lokal Kota Cilegon di Gedung DPRD Kota Cilegon pada hari Rabu, 7 September 2022.

Mereka meminta pemerintah dan DPRD untuk menolak pembangunan gereja tersebut. Perselisihan ini semakin memanas setelah Wali Kota Cilegon Helldy Agustian dan Wakil Wali Kota Sanuji Pentamarta saat itu juga mengirimkan tanda tangan pada petisi persetujuan.

Tim kuasa hukum Gereja HKBP Maranatha didampingi oleh Pendeta Yerry Pattinasarany sebagai wujud dukungan, melaporkan masalah tersebut ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Jakarta pada Selasa, 13 September 2022. Mereka berdiskusi dengan anggota DPR dari PKB, Daniel Johan dan Luluk Nur Hamidah untuk menyampaikan rangkaian persetujuan, tantangan yang ditemui, serta bukti mematuhi administrasi yang sebelumnya ditolak oleh Pemerintah Kota Cilegon.

3. Pembangunan Gereja di Semarang

Konflik terkait pembangunan Gereja Baptis Indonesia (GBI) Tlogosari, Semarang, mencapai puncaknya pada Maret 2020 ketika Satuan Polisi Pamong Praja terhenti secara paksa proses konstruksi. Penghentian ini terjadi setelah warga mengeluhkan bahwa Izin Mendirikan Bangunan (IMB) gereja diperoleh melalui penipuan dengan menggunakan tanda tangan di kertas kosong. Pihak GBI Tlogosari menyangkal tuduhan tersebut. Menurut mereka, pembangunan telah dimulai sebulan setelah IMB dikeluarkan, namun tidak ada persetujuan.

Pemerintah Kota Semarang mengumumkan bahwa penghentian ini bersifat sementara agar tim koordinasi yang dibentuk memiliki waktu selama tiga bulan untuk mencari solusi. Namun tindakan ini mendapat kritik tajam dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang. Menurut Direktur LBH Zainal Arifin, aparat seharusnya memastikan hak konstitusional jemaat dalam beribadah, bukan malah menyerah pada tekanan dan menghentikan pembangunan dengan alasan menjaga ketenangan.

Ricky Juliansyah, Timothy Nathaniel, Rusman Paraqbueq Jamal Abdun Nashr berpartisipasi dalam penulisan artikel ini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *